DI banyak keluarga, tanpa disadari, rasa cinta seringkali menjadi syarat—hanya hadir saat anak mendapatkan nilai bagus, menang lomba, atau ketika orang tua sukses secara materi. Inilah yang disebut conditional love atau cinta bersyarat.
Alih-alih membuat anggota keluarga termotivasi, pola ini justru bisa menjadi racun yang merusak kesehatan mental dan hubungan jangka panjang.
Anak yang tumbuh dalam cinta bersyarat cenderung merasa tidak cukup baik apa adanya. Mereka jadi haus pengakuan, takut gagal, bahkan memalsukan kebahagiaan demi tetap diterima.
Sebaliknya, orang tua yang merasa hanya dihargai saat bisa “memberi” uang atau pencapaian juga bisa mengalami tekanan batin yang dalam.
Agar keluarga tak terjebak dalam pola toxic ini, berikut beberapa langkah yang bisa diterapkan:
1. Cintai tanpa syarat. Ungkapkan cinta kepada anak dan pasangan tidak hanya saat mereka sukses, tapi juga ketika mereka sedang kesulitan. Kalimat sederhana seperti “Ayah bangga padamu, bukan karena nilainya, tapi karena kamu sudah berusaha” punya dampak besar.
2. Hargai proses, bukan hanya hasil. Fokus pada usaha dan perjalanan, bukan semata-mata pencapaian. Rayakan kegigihan dan keberanian mencoba, meski hasilnya belum sempurna.
3. Bangun komunikasi yang jujur dan suportif. Ciptakan ruang aman untuk saling bercerita tanpa takut dihakimi. Tunjukkan bahwa cinta dalam keluarga bukan transaksi, tapi pelukan yang tetap hangat meski dunia di luar dingin.
4. Sadar bahwa setiap anggota keluarga punya nilai unik. Jangan membandingkan anak satu dengan yang lain, atau pasangan dengan standar sosial. Hormati perbedaan dan potensi masing-masing.
Cinta sejati dalam keluarga tidak lahir dari keberhasilan, tapi dari penerimaan tulus tanpa syarat. Karena pada akhirnya, rumah adalah tempat di mana kita dicintai bukan karena siapa kita menurut orang lain, tapi karena siapa kita sebenarnya.
KOMENTAR ANDA